UI/UX
Design
A UI/UX Designer’s Dilemma: How Two Button Shapes Change the Way We See Design
Apr 16, 2025

“Mengapa dalam satu layar ada dua jenis tombol dengan radius yang berbeda?”
"Bukankah seharusnya desain sistem itu konsisten?"
"Atau mungkin ada maksud yang lebih dalam di balik keputusan ini?"
Jika kamu pernah membuka sebuah aplikasi dan menyadari bahwa ada dua jenis tombol dengan bentuk yang berbeda, kemungkinan besar kamu sempat merasakan kegelisahan seorang UI/UX designer. Apakah ini keputusan desain yang kurang rapi, atau justru sebuah strategi UX yang sudah matang berdasarkan data dan penelitian?
Aku pun pernah mengalami momen ini. Saat pertama kali melihat kombinasi antara rounded buttons dan pill-shaped buttons dalam satu halaman desain produk Google, aku berpikir, “Ada yang tidak beres di sini. Bukankah desain seharusnya konsisten?” Tapi setelah mengamati tren desain, membaca penelitian UX, dan menggali lebih dalam prinsip Material Design, aku menemukan bahwa keputusan ini bukan sekadar keputusan estetika—melainkan sebuah pendekatan UX yang sangat terukur dan disengaja.
Saat Konsistensi dan Fleksibilitas Saling Berhadapan
Sebagai seorang UI/UX Designer, kita sering diajarkan bahwa konsistensi adalah kunci. Konsistensi dalam UI tidak hanya membantu pengguna memahami alur interaksi, tetapi juga membangun rasa kepercayaan terhadap sebuah sistem.
Namun, terkadang fleksibilitas lebih penting daripada konsistensi. Jika kita hanya berpegang teguh pada aturan tanpa mempertimbangkan konteks pengguna, maka kita berisiko membuat pengalaman yang kaku dan kurang intuitif. Inilah realitas desain modern—kita tidak lagi hanya mengikuti aturan, tetapi mengadaptasikannya agar memberikan pengalaman terbaik bagi pengguna.
Dan di sinilah kombinasi rounded dan pill-shaped buttons mulai masuk akal.
Mengapa Ada Dua Jenis Tombol dalam Satu Halaman?
Setelah melakukan analisis desain Google dan membaca beberapa studi UX, ternyata ada tiga alasan utama mengapa kombinasi bentuk tombol ini justru meningkatkan pengalaman pengguna.
1️⃣ Hierarki Visual: Mengajarkan Pengguna Tanpa Kata-Kata
Penelitian dari Nielsen Norman Group menunjukkan bahwa pengguna lebih mudah memahami antarmuka jika hierarki aksi terlihat jelas secara visual.
Tombol pill-shaped biasanya digunakan untuk aksi utama yang ingin segera dilakukan pengguna—misalnya "Post" dalam aplikasi sosial atau "Buy Now" dalam e-commerce.
Tombol rounded digunakan untuk aksi sekunder atau tambahan, seperti "Cancel" atau "Learn More".
Saat kita mulai memikirkan UI tidak hanya sebagai "keindahan visual" tetapi sebagai "bahasa interaksi", kita menyadari bahwa bentuk tombol bukan sekadar masalah estetika—tetapi sebuah cara untuk berkomunikasi dengan pengguna tanpa perlu instruksi tertulis.
2️⃣ Optimasi untuk Perangkat Berbeda
Dalam penelitian UX oleh Google, ditemukan bahwa desain responsif dan ergonomis sangat menentukan kenyamanan pengguna di berbagai perangkat.
Tombol berbentuk pil lebih optimal untuk perangkat mobile, karena lebih mudah ditekan dengan jari dan lebih nyaman saat navigasi berbasis gestur.
Tombol rounded lebih fleksibel di desktop, di mana pengguna lebih sering menggunakan mouse dan keyboard untuk berinteraksi.
Sebagai desainer, kita sering kali terjebak dalam mindset bahwa satu ukuran harus cocok untuk semua perangkat. Padahal, bentuk tombol yang kita pilih bisa menjadi faktor penting dalam kenyamanan dan efisiensi interaksi pengguna.
3️⃣ Menjaga Identitas Visual Tanpa Mengorbankan UX
Google memiliki pendekatan desain yang fleksibel tetapi tetap konsisten.
Dengan menggabungkan tombol berbentuk pil dan rounded, mereka menciptakan UI yang tetap sesuai dengan prinsip Material Design sambil mempertahankan karakter dan keunikan produk.
Kombinasi ini memberikan kesan ramah tetapi tetap profesional, membuat UI terasa lebih human-centered dibandingkan hanya mengikuti standar kaku.
Banyak desainer mengira bahwa konsistensi harus selalu berarti keseragaman total. Tapi di sinilah letak kekuatan UX yang sesungguhnya—konsistensi bukan tentang membuat semua elemen tampak sama, tetapi tentang membantu pengguna memahami sistem secara intuitif.
Kesimpulan: Saat Desainer Belajar Melihat dengan Perspektif yang Lebih Luas
Setelah melalui pergolakan batin dan penelitian UX, aku menyadari satu hal yang mengubah cara pandangku tentang desain:
💡 Desain bukan hanya tentang visual, tetapi tentang pengalaman, psikologi, dan konteks pengguna.
Dengan memahami alasan di balik kombinasi tombol ini, kita belajar bahwa fleksibilitas dapat meningkatkan user experience lebih baik daripada konsistensi yang kaku. Google telah membuktikannya dengan desain sistem mereka, dan kita sebagai desainer dapat menerapkannya dalam proyek kita sendiri.
Jadi, apakah kamu masih berpikir bahwa tombol harus selalu memiliki radius yang sama? Atau justru mulai melihat bahwa ada makna lebih dalam di balik keputusan desain ini?
© 2024 / rahen