Great Design Starts with a Great Mindset
Apr 26, 2025

Kenapa ide bagus itu bukan soal jenius, tapi hasil latihan yang konsisten dan sadar.
“Kalau boleh jujur, aku belajar desain hampir semuanya dengan otodidak.”
Aku pikir, banyak desainer yang punya cerita seperti ini. Belajar dari coba-coba, dari rasa penasaran, dari banyak kesalahan. Tapi kalau ditarik ke belakang, mungkin yang paling berharga dari semua proses itu bukan hasil desain yang berhasil, melainkan cara berpikir yang terbentuk.
Karena begini: tools dan skill itu bisa kamu pelajari kapan saja—hari ini kamu bisa belajar Auto Layout di Figma, besoknya bisa mendalami Framer, lusa bisa jago animasi di Principle atau After Effects.
Tapi kalau kamu belum punya pola pikir yang tepat, semua skill itu akan hanya jadi gimmick. Kamu akan terus merasa desainmu kurang bagus, ide-ide selalu mentok, dan sulit membuat sesuatu yang benar-benar meaningful.
Pola Pikir Desainer: Bukan Sekadar Tools dan Skill
Sebagian orang mungkin masih berpikir bahwa menjadi desainer UI/UX handal berarti menguasai semua tools populer, tahu cara bikin prototype interaktif di Figma, atau jago utak-atik komponen di design system.
Padahal, seiring waktu aku menyadari: tools dan teknik itu bisa dipelajari, bahkan dengan cepat. YouTube, komunitas, dan AI bisa ngajarin itu semua.
Tapi ada satu hal yang gak bisa dipelajari dalam semalam: pola pikir.
Pola pikir itu seperti akar.
Kalau kuat dan sehat, pohonnya bisa tumbuh tinggi dan fleksibel menghadapi angin.
Tapi kalau akarnya rapuh, seberapa canggih tools-mu, desainmu akan kosong.
Ini bukan soal tren warna atau layout kekinian. Ini soal bagaimana kita berpikir sebagai desainer—tentang manusia, tentang konteks, tentang apa yang benar-benar penting.
Membangun Pola Pikir Itu Bukan Magic. Itu Konsistensi.
Kalau boleh jujur, aku memang sebagian besar belajar desain secara otodidak.
Di masa SMA aku bikin buletin sekolah dengan CorelDRAW 9. Aku belajar proporsional layout di waktu itu, bahkan sebelum aku tahu istilah itu punya arti apa. Di SMA juga, aku diajarin seni tulisan tangan, tata letak, dan pattern oleh guru SMP yang seorang pecinta seni dan sering bawa sekolahnya juara mading.
Dari sana aku belajar bahwa desain bukan cuma soal bagus atau tidak, tapi soal harmoni dan pesan.
Saat kuliah, aku mulai berani main warna. Dulu posterku selalu hitam putih—karena takut. Takut salah, takut norak, takut mencolok.
Tapi lama-lama, aku mulai paham tentang harmonisasi warna, hirarki visual, hingga peran desain antar muka dalam menyampaikan tujuan.
Semua itu bikin aku sadar: pola pikir itu dibentuk perlahan, lewat kerja keras yang konsisten, lewat keberanian salah, lewat banyak mencoba dan gagal.
Empati dan Critical Thinking: Dua Sayap Pola Pikir yang Sering Diabaikan
Di dunia desain, empati sering dipakai sebagai buzzword. Tapi empati sejati itu menyakitkan.
Karena kamu harus rela mendengar dengan jujur. Harus keluar dari gelembung keahlianmu dan masuk ke dunia orang lain. Kamu harus rela tahu bahwa solusi brilian versimu mungkin gak relevan buat mereka.
Di sinilah critical thinking muncul: kemampuan untuk terus bertanya,
“Kenapa ya mereka begini? Apa benar asumsi saya?”
Banyak desainer lupa bahwa skill berpikir ini nggak muncul dari baca buku saja. Tapi dari keberanian merefleksi, mengakui kalau cara berpikir kita kemarin mungkin keliru.
Dari sini aku belajar satu hal penting: pola pikir yang kuat dibangun dari rasa penasaran, bukan dari rasa ingin tampil hebat.
Kepribadian Bukan Halangan, Tapi Titik Awal
Aku bukan orang yang ekstrovert. Tapi juga nggak sepenuhnya introvert.
Ada hari-hari di mana aku bisa ngobrol aktif dan mendalami cerita pengguna. Ada hari lain di mana aku lebih senang menyendiri dan menganalisis masalah dari jauh.
Tapi yang kupelajari adalah: kepribadian bukan penghalang untuk menjadi desainer yang punya empati dan nalar tajam.
Ketenangan seorang introvert bisa jadi kekuatan saat mendalami pola.
Keterbukaan seorang ekstrovert bisa jadi kekuatan saat mengeksplorasi insight.
Yang penting adalah kesadaran, bukan label.
Mindset Itu Investasi, Bukan Ilmu Instan
Setelah masuk dunia kerja, semuanya berubah. Aku melihat bagaimana desain bisa mengubah pengalaman pengguna dan bahkan hasil bisnis.
Di sinilah desain bukan lagi "karya pribadi", tapi alat kolaborasi.
Aku harus tahu kapan mempertahankan ide, kapan mendengarkan, dan kapan berani berkata "ini belum tepat" meski secara visual sudah memukau.
Membangun pola pikir yang sehat artinya menerima bahwa kamu nggak selalu benar. Dan itu sulit. Tapi hasilnya? Desain yang lebih berdampak, proses yang lebih dewasa, dan hubungan kerja yang lebih sehat.
Tapi, membangun pola pikir yang sehat juga tidak sama dengan menjadi perfeksionis.
Banyak dari kita, termasuk aku dulu, sering terjebak ingin semuanya “sempurna”—bahwa desain harus terlihat cemerlang, logika harus presisi, dan setiap elemen harus bisa dipertanggungjawabkan secara akademis.
Tapi ternyata, perfeksionisme justru sering menghambat proses.
Ia membuat kita takut bereksperimen, takut gagal, takut menunjukkan karya yang belum matang.
Padahal, di dunia nyata, desain itu bukan tentang kesempurnaan—tapi tentang kejelasan, keberanian, dan keberlanjutan.
Perfeksionisme bisa membuat kita berhenti belajar, karena terlalu takut salah.
Pola pikir sehat justru mengajarkan kita bahwa salah itu bagian dari belajar.
Bahwa desain yang baik bukan yang tidak ada celanya, tapi yang terus tumbuh dan membaik dari waktu ke waktu.
Membiasakan Refleksi: Ritual Kecil untuk Hasil Besar
Setelah menulis panjang lebar soal pentingnya pola pikir, aku ingin berbagi satu kebiasaan kecil yang kubangun sendiri: jurnal refleksi desain pribadi.
Ini semacam latihan mental—semacam catatan jujur untuk diri sendiri tentang bagaimana aku berpikir saat mendesain.
Ini bukan buat dinilai orang lain. Tapi buat membentuk cara pikirku sendiri.
🧠 JURNAL REFLEKSI DESAIN PRIBADI
“Bukan untuk mencari benar atau salah, tapi untuk mengenal cara berpikir sendiri.”
✨ 1. Tujuan Desain Ini Apa Sebenarnya?
Masalah apa yang sedang coba diselesaikan?
Apa hasil ideal yang diharapkan?
Jika pengguna hanya punya 5 detik, apa yang ingin mereka tangkap?
🧩 2. Asumsi Apa yang Saya Bawa Saat Mendesain Ini?
Apa yang saya anggap pasti tentang pengguna?
Apakah saya cukup yakin mereka memahami simbol atau istilah ini?
Apakah ada bias pribadi?
🕵️ 3. Sudah Sejauh Mana Saya Memahami Pengguna?
Apakah saya observasi langsung atau wawancara?
Tantangan apa yang mereka hadapi?
Emosi apa yang muncul saat mereka berinteraksi?
🧠 4. Pilihan Desain Apa yang Paling Menantang?
Keputusan desain mana yang paling lama saya pikirkan?
Apa pertimbangan saya?
Apakah saya mengubah keputusan karena masukan?
🔄 5. Apakah Saya Terjebak di "Keren Tapi Tidak Relevan"?
Elemen mana yang hanya ada karena estetika?
Apakah semua elemen punya alasan kuat?
🎯 6. Apa yang Bisa Saya Lakukan Lebih Baik?
Bagian mana yang saya rasa belum optimal?
Apa feedback paling bermakna yang saya terima?
💡 7. Pelajaran untuk Proyek Berikutnya
Apa pelajaran terbesar dari proyek ini?
Apa yang saya pelajari tentang diri saya sendiri?
Mindset apa yang ingin saya pertahankan?
💬 BONUS: Afirmasi untuk Desainer yang Lelah
“Aku tidak harus sempurna hari ini. Aku hanya harus tumbuh.”
“Aku belajar dari proses, bukan dari hasil instan.”
“Setiap desain membentuk cara berpikirku, bukan hanya portofolioku.”
Penutup: Desain Hebat Dimulai dari Pola Pikir Sehat
Jadi, jika kamu sedang merasa stuck, cemas, atau merasa belum cukup "mahir" sebagai desainer—tenang. Kamu mungkin sedang tumbuh.
Belajar tools bisa sehari dua hari.
Tapi membentuk pola pikir? Itu perjalanan seumur hidup.
Dan setiap langkahnya berharga.
Karena pada akhirnya, desain bukan cuma tentang apa yang kamu buat.
Tapi tentang bagaimana kamu berpikir saat membuatnya.
Kalau kamu setuju, aku juga bisa bantu buat versi cover image dan highlight kutipan untuk teaser Medium-mu. Mau sekalian disiapkan juga?
© 2024 / rahen